Sejarah benteng ini terentang sejak tahun 1755, tatkala kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, Kasunanan dan Kasultanan Yogyakarta, sebagai hasil dari perjanjian Giyanti. Saat itu, VOC (Vereenigde Oost Compagnie) berupaya untuk menanamkan pengaruh dan mengamankan kuasanya di pulau Jawa. Untuk menegaskan pengaruhnya, VOC melobi penguasa Surakarta dan Yogyakarta supaya diperbolehkan membangun “loji berdinding” yang berdekatan dengan keraton. Sultan Hamengkubuwono I telah berjanji kepada VOC untuk menyediakan bahan bangunan yang diperlukan. saat yang bersamaan, Sultan Hamengku Buwono I rupanya juga sedang mendirikan keraton yang akan menjadi kediaman dan
tempat ia menjalankan roda pemerintahan. Pembangunan benteng terhambat karena material yang dijanjikan Sultan tidak kunjung siap.
Saat masa jabatan Hartingh berakhir pada 1761, belum tampak tanda-tanda benteng tersebut akan selesai dibangun. Karena bahan yang dibutuhkan masih belum tersedia, maka benteng tersebut dibangun dengan bahan seadanya. Barulah pada tahun 1765, benteng rapuh tersebut mulai diperkokoh dengan batu-bata dan diperkuat dengan empat puluh buah meriam kaliber 3-4 pon yang didatangkan oleh VOC.Rancangan benteng dibuat oleh insinyur Frans Haak. Benteng itu baru pungkas dibangun tahun 1781. Dengan demikian VOC harus menunggu selama 26 tahun untuk memiliki benteng permanen di Yogyakarta (Kuiper, 1934: 134-137). Awalnya benteng itu dinamakan "Fort Rustenburg", Benteng Peristirahatan. Saat Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, Fort Rustenburg diganti namanya menjadi "Fort Vredeburg". Pergantian nama yang berarti 'peristirahatan' menjadi 'kedamaian' dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap pejabat sipil yang tinggal di depan benteng (Tim Historia, 2018: 21). Saat Inggris menaklukan Kraton Yogyakarta pada tahun 1812, kondisi benteng Vredeburg “ hanya layak untuk dipergunakan sebagai gudang tempat menyimpan perbekalan militer.Selama berlangsungnya pengepungan Inggris atas keraton Yogyakarta, benteng itu menjadi markas tentara Inggris.Berikutnya pada saat Yogyakarta sedang dirundung Perang Jawa (1825-1830), Benteng Vredeburg menjadi sasaran para pengikut Pangeran Diponegoro. Pada penyerbuan kota Yogyakarta oleh pengikut Diponegoro pada 7 Agustus 1825, Sultan Hamengkubuwono IV yang masih muda diamankan Belanda ke dalam benteng untuk melindungi dari serbuan. Selama Perang Jawa, benteng tersebut menjadi markas komado Belanda di Yogyakarta (Van Eck, 1899: 63). Saat Yogyakarta diguncang gempa pada tahun 1867, sejumlah bangunan di dalam benteng hancur. Memasuki zaman pendudukan Jepang, tepatnya pada bulan Juni 1942, benteng Vredeburg dijadikan sebagai tempat tawanan untuk orang-orang Belanda. Setidaknya ada 897 tawanan yang ditahan di sana. Semuanya adalah laki-laki. Sebelum ditawan, mereka dahulunya adalah pejabat sipil, polisi, bankir, dan pegawai keraton. Selepas kemerdekaan, Tentara Keamanan Rakyat menjadikan benteng sebagai asrama dan markas.
Namun benteng itu kembali jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi Militer Belanda Kedua dan kemudian menjadi markas IVG dinas rahasia tentara Belanda. Benteng itupun menjadi bulan-bulanan para pejuang pada Serangan Umum Satu Maret 1949. Setelah difungsikan berpuluh-puluh tahun untuk sarana militer, pada tanggal 23 November 1992,
Benteng Vredeburg akhirnya diresmikan sebagai museum,
(Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003; 8-10).
Sumber Deskripsi : jejakkolonial.blogspot.com
Sumber Foto : KITLV, Tropenmuseum, Collectienederland,
Collectie.wereldculturen, kebudayaan.kemdikbud.go.id
Информация по комментариям в разработке