Maung Siliwangi Menerkam PKI
Hanya dalam tempo seminggu sejak bergerak dari Solo, pasukan Siliwangi sudah bisa merebut Madiun dari tangan pemberontak PKI. Begitulah yang terjadi pada tahun 1948.
Mengutip buku," Mendung di Atas Istana Merdeka," yang ditulis Atmadji Sumarkidjo, ketika itu pasukan Siliwangi sedang hijrah Jateng imbas dari perjanjian Renville. Sebagian ditempatkan di Solo. Tapi kemudian terjadi huru-hara yang menyudutkan Siliwangi.
Siliwangi bentrok dengan pasukan dari Divisi Panembahan Senopati dan juga kesatuan yang pro kepada Front Demokrasi Rakyat (FDR). Brigade I/Siliwangi yang bertugas di kota Solo pun akhirnya memutuskan untuk melawan tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Untuk meredakan situasi tersebut, Panglima Besar Sudirman sampai dua kali melakukan kunjungan ke sana. Rapat pimpinan TNI dengan Presiden akhirnya memutuskan untuk menjadikan daerah Surakarta dalam keadaan bahaya dan mengangkat Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer untuk wilayah Surakarta.
"Jadi pada 17 September, praktis kota Solo telah diamankan dari unsur-unsur FDR yang mampu diusir hingga ke bagian Selatan kota tersebut," tulis Atmadji Sumarkidjo dalam bukunya.
Tetapi pada 18 September 1948, tiga tembakan pistol di dini hari menandai ofensif militer PKI di Madiun. Pasukan-pasukan bersenjata PKI dengan cepat menduduki gedung-gedung penting seperti kantor telepon, kantor pos, markas tentara dan kantor-kantor polisi. Kota Madiun memang penuh berisi pasukan-pasukan yang dibina PKI. Di kota Madiun dan wilayah sekitarnya terdapat lima batalyon yang berintikan pasukan dari Brigade 29 yang eks Pesindo, dan karena jumlah pasukan TNI hanya sedikit dengan cepat mereka mampu dilumpuhkan. Pada pukul 10.00 pagi, Radio Gelora Pemuda, yaitu eks RRI Madiun yang dikuasai oleh mereka, menyiarkan sebuah pernyataan.
"Sekarang sudah tiba saatnya mengobarkan revolusi. Republik berusaha menyerahkan Bangsa dan tanah Indonesia kepada Belanda. Republik dengan Belanda bekerja sama untuk menindas bangsa Indonesia. Kolaborator fasis Hatta memperalat Republik untuk menjajah kaum buruh dan tani. Pemerintah Republik seluruhnya terdiri dari pengkhianat-pengkhianat. Madiun sudah bangkit, Revolusi sudah dikobarkan. Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik. Pemerintahan Buruh dan Tani yang baru sudah terbentuk. Mulai saat ini senjata kita tidak boleh berbenti memuntahkan peluru sampai kemerdekaan, keamanan dan ketenteraman pulih di negeri Indonesia tercinta ini," begitu pernyataan yang disiarkan oleh Radio Gelora Pemuda di Madiun.
Gerakan militer yang diprakasai oleh Soemarsono, Kolonel Djoko Sujono dan Kolonel Dahlan selain mengejutkan pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, juga mengejutkan Muso, pimpinan PKI sendiri. Waktu itu, Muso sebetulnya sedang melakukan “safari' kampanye PKI ke beberapa tempat di Jawa Tengah untuk memperkenalkan programnya dan sekaligus menarik simpati massa.
Muso ketika itu sama sekali tdak mengharapkan bahwa sayap militernya melancarkan suatu gerakan terbuka terhadap pemerintah Republik, karena Muso masih mengharapkan bahwa bahwa usaha melalui jalur parlemen masih tercapai. Ia buru-buru kembali ke Madiun dan mendapatkan fakta bahwa tidak hanya Madiun, tetapi sejumlah kota kecil di Karesidenan Madiun sampai ke kota Pacitan di tepi Samudra Hindia juga telah direbut oleh pasukan pimpinan Soemarsono itu. Dan bendera merah berkibar di mana-mana, sehingga tidak ada jalan lain baginya kecuali ia harus mengikuti jalan yang diputuskan oleh Soemarsono dan kawan-kawannya.
Keesokan harinya, pada 19 September melalui RRI Yogyakarta, Bung Karno mengucapkan pidatonya yang amat dramatis, tetapi juga efektif sebagai respons terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh PKI.
"Rakyat yang kucintai, atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka aku berseru kepadamu. Pada saat yang begini genting, di mana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang sebesar-besarnya di dalam menentukan nasib kita sendiri, dan kita adalah memilih antara dua. Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya ata-ata Indonesia Merdeka atau ikut Soekarno-Hatta yang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin negara Republik Indonesia Merdeka, tidak dijajah oleh Negara mana pun juga. Madiun barus lekas di tangan kita kembali," begitu sepenggal pidato Bung Karno.
Menurut Atmadji Sumarkidjo, pidato tegas Presiden Soekarno itu menimbulkan efek berantai seperti diharapkan oleh TNI dan pemerintah. Gelombang suara dan petisi dukungan mengalir dari berbagai tempat, sehingga pemerintah bisa mengisolir simpati masyarakat kepada PKI hanya di wilayah sekitar Madiun saja. Dan sejumlah tentara kelaskaran yang tadinya bersimpati dengan PKI karena mereka terkena akibat Re-Ra lalu mengurungkan niat untuk membantu PKI.
Информация по комментариям в разработке