Habib Abdurrahman al-Zahir terkenal sebagai seorang diplomat ulung Kerajaan Aceh Darussalam, seorang negosiator andal. Ia berasal dari Hadramaut, melalang buana ke berbagai penjuru dunia, sebelum akhirnya berlabuh di Aceh pada 1864. Dia memiliki “tiket” berupa penghargaan dari Maharaja Johor atas prestasinya di Johor untuk membuatnya diterima Kerajaan Aceh Darussalam.
Benar saja, Raja Aceh berkuasa saat itu, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, tertarik dengan kemampuan dan pengalaman Habib Abdurrahman, sehingga ia ditunjuk sebagai Kepala Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya itu, Habib kemudian dipercayakan sebagai Menteri Luar Negeri sekaligus Mangkubumi Kerajaan menjelang meletusnya Perang Aceh.
Perang Aceh juga dikenal sebagai Perang Belanda atau Perang Kafir (1873 hingga 1904) adalah konflik militer bersenjata antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda yang dipicu Ambisi teritorial Belanda di Aceh terhadap keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama lada hitam dan minyak bumi, serta menghilangkan negara pribumi yang independen. Belanda juga berusaha untuk mengusir kekuatan kolonial saingannya yang mempunyai ambisi di Asia Tenggara, khususnya Inggris dan Perancis. Selain itu Kolonial Belanda sendiri menaruh harapan besar jika berhasil menaklukkan Kerajaan Aceh: dapat dengan leluasa mengontrol arus perdagangan di kawasan tersebut karena Letaknya sangat strategis.
Kesultanan Aceh pada saat itu dipimpin Sultan Alauddin Mahmud Syah, dibelakangnya berdiri Sultan Muhamad Daud Syah, Tuanku Hasyim Banta Muda, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Teku Cik Ditiro, Cut Meutia, Panglima Polem, Teku Ben Muhmud dan ada 2 tokoh pejabat besar lain yang berdarah asing yang tidak lainnHabib Abdurahman Az-Zahir tokoh dari Timur Tengah dan Pang Tibong tokoh dari India.
Tahta sultan Alaudin Mahmud Syah yang masih sangat muda itu dijalankan oleh dewan penasehat yang terdiri dari anggota dewan yang utama yaitu Habib Abdurrahman Az-Zahir dan Pang Tibang. Kedua orang penasehat ini sebenarnya saling bertentangan satu sama lainnya, dimana Habib Abdurrahman menganggap bahwa sudah saatnya Aceh membuka diri terhadap bangsa luar sementara Tibang bersikeras bahwa Aceh mestilah tetap bersikap independen dan tidak berkompromi dengan kolonial. Sultan Alaudin tentu saja masih mempertahankan saran yang kedua.
Habib Abdurrahman ini datang 10 tahun sebelum perang Aceh ini meletus, setelah sebelumnya singgah di banyak tempat. Sebagai orang yang berasal dari Timur Tengah, Abdurrahman sudah sering bertinteraksi dengan pendatang-pendatang asal Aceh yang berkunjung ke Mekkah. Tak heran, bila ia dapat dengan mudah diterima oleh petinggi-petinggi Kerajaan Aceh untuk diposisikan sebagai mufti sekaligus imam masjid kerajaan selama beberapa tahun.
Perang Aceh sendiri secara resmi dimulai pada 26 Maret 1873. Ekspedisi penuerangan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler diutus pada tanggal tersebut yang kemudian membombardir ibu kota Banda Aceh dan mampu menduduki sebagian besar wilayah pesisir pada bulan April.
niat Belanda adalah untuk menyerang dan merebut istana Sultan, yang juga akan berujung pada pendudukan seluruh negeri. Bagaimanapun, tentara Aceh dengan cepat dimodernisasi dan diperbesar, Karena meremehkan kemampuan militer orang Aceh, Belanda membuat beberapa kesalahan taktis dan mengalami kerugian termasuk kematian Köhler dan 80 tentara. Walau Tentara sempat menguasai Masjid Baiturrahman, namun Kekalahan ini menggerogoti moral dan gengsi Belanda.[3]
Setelah memutuskan mundur, kemudian Belanda memberlakukan blokade laut terhadap Aceh.
Habib Abdurrahman memainkan peranan penting sebagai diplomat saat itu, ia ditugaskan untuk melobi Kerajaan Turki Ottoman agar memberikan perlindungan terhadap Kerajaan Aceh dari ancaman gempuran Kerajaan Belanda. Dalam hal ini, Aceh memposisikan diri sebagai bagian dari wilayah yang berada di bawah naungan (vasal) Kerajaan Ottoman.
Sebagai seorang habib, ia mempunyai hubungan baik dengan syarif Mekkah, dan karena itu pula ia dihormati di Turki. Dan, ia lebih-lebih lagi dihormati karena uangnya banyak, yang selama ini diberikan kepadanya oleh para pedagang lada di Aceh dan Penang, agar ia dapat hidup dengan gaya yang sesuai dengan kedudukannya yang tinggi sebagai seorang yang dianggap suci.
George Lavino seorang pejabat kolonial Belanda, memperkirakan bahwa Habib Abdurrahman Az zahir dibekali uang sebanyak $54.000 untuk tugas diplomasinya ke Turki. Kendati demikian, tidak jelas, bahwa uang itu digunakan sepenuhnya untuk melaksanakan tugas tersebut.
Pada bulan April 1873 atau 1 bulan setelah serangan Belanda pertama, Abdurrahman tiba di Mekkah, untuk memperbarui hubungan lama –antara Aceh dan Turki– dan menyampaikan sepucuk surat dari Sultan Mahmud Aceh yang berisi keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih erat antara Turki dan Aceh.
Информация по комментариям в разработке