Penyebab Bujangga Waisnawa Tidak Lagi Menjadi Bagawanta Kerajaan Bali

Описание к видео Penyebab Bujangga Waisnawa Tidak Lagi Menjadi Bagawanta Kerajaan Bali

Setelah Dalem Smara Kepakisan wafat, Dalem Waturenggong, putranya yang semula menjadi raja muda langsung diangkat sebagai Raja Bali yang berkeraton di Swecapura. Peristiwa penobatan itu berlangsung pada tahun 1459.

Pada masa itu Kerajaan Majapahit sudah runtuh, sehingga para penguasa daerah sebagai Adipati di seluruh Nusantara, termasuk Bali, melepaskan diri dari naungan Majapahit dan membentuk kerajaan yang berdiri sendiri.

Dalem Waturenggong adalah keturunan Sri Aji Kresna Kepakisan generasi ketiga. Ketika mulai memerintah, Dalem Waturenggong masih menerapkan sistem pemerintahan kerajaan sebelumnya. Para patih pada zaman beliau adalah para patih yang diangkat dari keturunan para patih terdahulu.

Yang menjadi patih utama atau patih agung adalah Kiayi Batan Jeruk, menggantikan ayahnya, Kiayi Petandakan keturunan Arya Kepakisan. Patih agung merupakan jabatan tertinggi setelah raja, yang memegang tugas sipil dan militer, baik dalam keadaan damai maupun perang.

Jabatan Demung dipegang oleh Kiayi Pinatih, perwira keturunan Arya Bang Pinatih yang setia mengabdi seperti orangtuanya dahulu. Jabatan Demung ada di bawah patih agung dan bertugas mengurus kegiatan rumah tangga keraton yang meliputi santapan raja, hiburan, seni dan angjangsana ke luar daerah.

Yang menjadi Tumenggung adalah Kiayi Abian Tubuh, mengantikan ayahnya Kiayi Kebon Tubuh keturunan Arya Kutawaringin. Seorang Tumenggung bertugas menjaga keindahan dan kebersihan keraton serta mengawasi pasar. Ketiga pejabat kerajaan ini ikut serta memegang laskar kerajaan dan laskar Dulang Mangap apabila terjadi serangan terhadap kerajaan.

Kyai Brangsinga dan Kiayi Pegatepan keturuan Arya Kanuruhan bertugas sebagai Sekretaris Kerajaan, sama seperti ayah mereka dahulu. Patih lainnya yang juga menggantikan kedudukan ayah mereka adalah: Kyai Tabanan keturunan Arya Kenceng, Kyai Anglurah Kabakaba keturunan Arya Pudak, Kyai Kapal keturunan Arya Dalancang, begitu pula dengan Kyai Pering, Cagahan dan Sukahet.

Adapun Kyai Pande Basa adalah putra Kiayi Penyarikan Dauh Baleagung yang telah menjadi bagawan. Sedangkan Kiayi Jelantik, putra Kyai Pangeran Pesimpangan adalah keturunan Arya Kepakisan.

Para patih lainnya yang juga mewarisi jabatan orangtua mereka adalah Kyai Pacung putra Tan Kober, Kiayi Cacahan putra Tan Mundur, dan Kyai Abian Semal putra Tan Kawur. Mereka itu terkenal sebagai patih pemberani, keturunan orang kebal yang selalu setia mengabdi kepada Raja.

Daerah wilayah kekuasaan kerajaan di seluruh Bali dipegang oleh para patih atau anglurah yang dijabat oleh keturunan para Arya, sedangkan wilayah desa dipimpin oleh bendesa yang dijabat oleh para keturunan Pasek yang tersebar di seluruh desa di Bali.

Untuk menjalin hubungan antara pusat dan daerah dilakukan pesamuan atau pertemuan secara berkala, bertepatan dengan berlangsungnya upacara Ngusaba Nini. Ngusaba Nini yang merupakan perwujudan persembahan kepada Dewi Sri itu dilakukan oleh Anglurah dan Bendesa dari seluruh Bali di Balai Agung Pura Dasar Buana Gelgel. Pada setiap pertemuan di tempat itu, segala permasalahan di daerah dibahas dan dicarikan jalan keluarnya.

Untuk menjamin keamanan agar semua dapat melaksanakan tugas dengan baik, Dalem Waturenggong membentuk laskar kerajaan sebagai pasukan penggempur yang disebut Dulang Mangap. Pasukan ini terdiri dari prajurit pilihan yang dipimpin oleh Kiayi Ularan, Pasek Tohjiwa dan Ki Bungkut Kerta.

Pasukan Dulang Mangap yang dipersenjatai dengan tombak Oncer Ganda tercatat sebagai pasukan yang berhasil menaklukkan daerah di luar Bali. Sudah menjadi tradisi bagi pasukan Dulang Mangap untuk melakukan persembahan suci di Pura Dasar Buana Gelgel, sebelum berangkat ke medan perang.

Комментарии

Информация по комментариям в разработке