Ebiet G. Ade pulang kampung | Seakong Festival Wanadadi Banjarnegara

Описание к видео Ebiet G. Ade pulang kampung | Seakong Festival Wanadadi Banjarnegara

Ketika Ebiet G Ade Menitikkan Airmata di Kampung Halaman.

Siapapun yang tinggal di rantau atau kota besar, pulang kampung adalah ritual yang dirindukan. Mencium aroma perdesaan, sawah, atau bebukitan akan menyibak segala kenangan masa lalu, satu demi satu. Entah itu indah atau pahit, tetaplah menjadi sebuah kenangan yang menyatu dalam bingkai memori, yang mengasyikkan untuk dinikmati.

Seperti itulah yang dirasakan Ebiet G Ade, penyair yang tersohor dalam musikalisasi puisi, ketika pulang kampung pada 18-19 November lalu. Kampung halaman adalah inspirasi masa lalunya. Tanah kelahirannya di Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah sumber puisi-puisinya yang melegenda, yang dituangkan dalam lagu-lagunya yang religius, romantis, naturalis, sekaligus penuh dengan pesan moral dan kritik sosial.

Saat remaja hingga beranjak dewasa, penyanyi bernama asli Abid Ghoffar Abu Djafar itu sangat suka menikmati atmosfer senja. Ketika teman sepermainan bermain bola atau yang lain, dia lebih suka menyendiri di pinggiran kampung atau di persawahan sembari menatap langit jingga di detik-detik pergantian siang ke malam. Di momen-momen magis seperti itulah kepekaan jiwanya tersentuh, naluri kesenimanannya terasah. Dari situlah puisi-puisinya lahir.

Karya-karya masterpiece Ebiet G Ade mayoritas lahir dari potret yang dia rekam ketika hidup di kampung. Banyak lagunya yang mengkontradiksikan kehidupan serba damai di kampung dengan Ibukota Jakarta yang dia gambarkan kering dan kejam. Simaklah lagu Jakarta 1 dan Jakarta 2, atau Saksikan Bahwa Sepi Lebih Berarti dari Keriuhan.

Pintar Melawak
Dalam penampilannya menjelang usia 70 tahun ini, Ebiet sanggup membawakan 13 lagu. Mayoritas adalah lagu-lagu hits yang melambungkan namanya, plus beberapa lagu langka. Salah satunya bercerita tentang obsesi dia menjadi kepala desa, lewat Cita-cita Kecil Si Anak Desa yang ada di Album Camellia 2, dirilis tahun 1979. “Ketika itu saya ngiri dengan anak kepala desa. Kayaknya keren banget. Makanya saya kepengin jadi kepala desa. Tapi mungkin kalau saya jadi kepada desa beneran, gak akan seperti sekarang,” ucapnya.

Dalam refrain lagu tersebut, ada kalimat bahwa “Istriku harus cantik lincah dan gesit. Tapi ia juga harus cerdik dan pintar”. Ebiet pun lantas menunjuk sang istri, Yayu Sugianto, yang duduk di deretan terdepan bersama penonton, yang selalu setia menemani kemanapun Ebiet tampil show. Sang permaisuri yang selalu dipuji Ebiet di setiap penampilanya ini hanya mesam-mesem.

Kepada penonton, yang sebagian adalah teman masa kecil dan tetangganya, Ebiet bilang bahwa anak kampung pun bisa menjadi penyanyi kondang dan punya istri cantik. “Bayangkan, saya anak kampung yang dekil, naksir perempuan yang ketika itu sekolahnya aja di London. Kuwi ngedap-edapi (Itu luar biasa),” tutur Ebiet mengenang saat pacaran dengan kakak Iis Sugianto itu.

Puncak penampilan Ebiet yang membuat penonton larut dalam keharuan malam itu adalah saat dia membawakan lagu Ayah Aku Mohon Maaf. Lagu di “Album Zaman” (rilis tahun 1985) ini belum pernah dia nyanyikan ketika tampil show di manapun. Meski tidak sepopuler “Titip Rindu Buat Ayah”, lagu ini justru bisa lebih mengaduk-aduk perasaan. Lagu dengan akustik gitar tunggal ini dicipta untuk mengenang Ayahnya yang telah tiada, yang ketika meninggal Ebiet tidak berada di sampingnya.
“Lagu Ayah Aku Mohon Maaf ini sangat berat, belum pernah saya bawakan. Alhamdulillah kali ini bisa,” ujar Ebiet sembari membetulkan kacamatanya. Ebiet pun menitikkan airmata. Tidak sedikit penonton yang ikut menangis terharu, terbawa suasana, karena lagu ini begitu menyentuh dan menyayat. Sangat sentimentil. Terlebih bagi orang yang ayahnya sudah meninggal.

Satu hal yang belakangan menjadi kebiasaan Ebiet ketika berada di panggung adalah melawak. Ebiet yang dalam persepsi penggemarnya adalah sosok yang kalem dan tenang, kini kerap menyelipkan lelucon-lelucon ringan di setiap penampilannya di panggung. Apalagi ketika tampil di kampung sendiri, Ebiet menumpahkan “bakat melucunya” menggunakan bahasa “Ngapak” atau Banyumasan dengan logat yang unik itu. Tanpa tahu artinya pun, bagi orang non-Banyumas, logatnya yang 'medhok" sudah bisa membuat orang tertawa.

Support by :
Komunitas Membumi Bersama Ebiet G. Ade

Deskripsi : Hari Gunarto ( di Edit seperlunya sesuai batasan deskripsi youtube)

Video taken by :
IG : ebiet_g_ade
IG : seakong festival
Heru Mugiarso
Akhmad Hardjono
Dedi Adham

#ebietgade #membersega #membumibersamaebietgade #seakong

Комментарии

Информация по комментариям в разработке