MASEGEHAN, REFLEKSI SAINS TRADISIONAL BALI

Описание к видео MASEGEHAN, REFLEKSI SAINS TRADISIONAL BALI

   • MASEGEHAN, REFLEKSI SAINS TRADISIONAL...  
MASEGEHAN, REFLEKSI SAINS TRADISIONAL BALI
#Refpleksi
#Sains
#Tradisional

MASEGEHAN, REFLEKSI SAINS TRADISIONAL BALI. Barangkali sering kita melihat bahwa keluarga-keluarga Hindu di Bali menghaturkan ‘sesuatu’ sebelum mereka makan serta memulai aktivitas lainnya. Kegiatan yang kelihatannya sederhana, mempersembahkan sejumput nasi yang baru selesai dimasak, berisi lauk-pauk serta sayuran yang dimasak, memiliki esensi mendalam bahwa sebelum makan kita harus menghaturkan terlebih dahulu kepada-NYA Sang pencipta, pemilik, dan penguasa segala yang ada. Sebab jika tidak mempersembahkannya, maka kita dianggap sebagai pencuri. Disamping itu, mempersembahkan sesuatu kepada-Nya sebelum dimakan dan melakukan aktivitas juga sebuah laku bhakti, berserah, dan mengakui akan eksistensi yang lebih besar dari eksistensi manusia. Disamping itu, sodaan juga sebagai bentuk berterima kasih kepada ibu (Pertiwi). Tidak hanya berhenti sampai disana, umat Hindu di Bali juga menghaturkan sesajen dan segehan pada kurun waktu tertentu, berdasarkan perhitungan siklus kewaktuan. Perhitungan waktu itu misalnya: tiga harian dikenal dengan Pasah, Beteng, dan Kajeng. Perhitungan lima harian, misalnya umanis, paing, pon, wage, dan kliwon. Ada lagi waktu lima belas harian, kajeng kliwon, purnama-tilem, dan siklus waktu satu tahun dan seterusnya. Pada setiap peralihan itu acapkali umat Hindu melaksanakan ritus, dengan mempersembahkan sesajen dan laku yang berkaitan dengan itu. Inilah kosmos kewaktuan yang dipedomani orang Hindu di Bali pada khususnya dan umat Hindu di Indonesia pada umumnya. Atas dasar kosmos kewaktuan, orang Hindu masegehan, mecaru, melaksanakan upacara tawur tidak pada sembarang waktu. Masegehan sehari-hari, masegehan dalam perhitungan lima harian, lima belas harian, setahun sekali dan seterusnya.

Umatt Hindu di Bali, dan juga umat Hindu yang berada di luar Bali mengenal tiga jenis ibu (trining ibu) yaitu: 1) ibu biologis yang melahirkan kita, yang memberi makan-minum, dan mengajari kita berkata-kata hingga besar dan eksis hingga hari ini; 2) ibu pertiwi, tanah ini yang dalam terminologi Bali disebut ibuning ibu, bumi ini yang telah menyiapkan berbagai sumber makanan dan kehidupan, dan 3) ibu Saraswati, yang membuat manusia memiliki pengetahuan, keterampilan, dan memungkinkan manusia hidup lebih mudah. Dalam konteks mempersembahkan sodaan, segehan, laku ini dilakukan untuk berterima kasih kepada ibu Pertiwi yang telah menyediakan begitu banyak makanan bagi manusia. Termasuk di dalamnya ucapan terima kasih kepada Sarwa Prani, baik nampak (semut, burung, kucing, anjing dsbnya) maupun tidak nampak. Tujuannya tiada lain agar semua makluk berbahagia (sarwa prani itang karah). Tidak hanya kita saja yang makan enak, sementara melupakan makluk lainnya. Inilah yang disebut doa dalam tindakan, doa dalam laku, doa dalam praksis. Doa tanpa Tindakan, tanpa ekskusi, tanpa praksis menurut I Wayan Westa adalah omong kosong. Inilah salah satu kesantunan orang Hindu di Bali dalam merawat dan memelihara hubungan dengan sarwa prani dan alam semesta. Disamping sebagai etik, masegehan juga diyakini sebagai bentuk refleksi Sains Tradisional. Misalnya kenapa yang dipersembahkan salah satunya berisi bawang-jahe. Demikian pula dengan unsur arak-berem. Jika diteliti tentu akan ditemukan anasir sains dalam laku tradisional masegehan. Jadi masodaan, masegehan, dan mecaru serta melaksanakan berbagai ritus upacara lain berdasarkan kosmos kewaktuan adalah bentuk berterima kasih, bentuk kesantunan menempatkan sarwa prani sebagai saudara, serta pelaksanaan Sains tradisional Bali. Dengan doa dalam bentuk laku seperti itu, umat Hindu memohon agar sarwa prani harmoni. Ini adalah pengetahuan meta, di balik sesuatu yang tampak dan terekspresi. Untuk itu dibutuhkan energi intuasi di balik semua laku magis tadi, bukan rasio.

Dalam perspektif antropologi, mempersembahkan sodaan, segehan, dan berbagai bentuk caru sesungguhnya tidak hanya berfungsi magis dan penuh kekuatan mana, tetapi sebagai penanda dan atau memperkuat identitas etnis. Dengan masodaan, masegehan, maka itu dapat diidentifikasi sebagai cara orang Bali, penanda orang Hindu di Bali maupun orang Hindu Bali yang berada di luar Bali, dan penguat identitas kultural. Tentu ritus masegehan, macaru, dan sejenisnya tidak hanya dipahami sebagai semata-mata penguat identitas, tetapi juga memiliki makna magis yang berhubungan dengan kekuatan yang supreme. Oleh karena itu doa dalam laku ini lebih menggunakan pendekatan rasa ketimbang rasio. Jadi hanya yang haluslah dapat menembus yang maha halus.

Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada Youtube, juga pada Dharma wacana agama Hindu.

Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe

https://www.youtube.com/channel/UCB5R
Facebook:
www.facebook.com/yudhatriguna
Instagram:
  / yudhatrigunachannel  
Website:
https://www.yudhatriguna.com

Комментарии

Информация по комментариям в разработке